Postingan

Menampilkan postingan dari 2016

Thailand dan Langit Orange (Part 1)

Gambar
                 Aku melewati jalan aspal sangat berkilau, semacam kita memakai masker putih telur. Beton-beton kokoh berdiri dan gedung-gedung menjulang tinggi. Kumengadah, skytrain telah merontokan debu kecil menimpa pundakku. Menuruni eskalator, MRT yang dirancang unik beda dengan negara-negara lainnya. Sepanjang jalan kota kulihat paha-paha putih dan menawan berjalan, bola mata yang kecil, huruf semacam aksara jawa dimana-mana dan suara membuatku melotot menahan tawa. Memasuki fasilitas umum, dan ...(terdapat tiga jenis kamar mandi) ups. Tidak hanya itu, jajanan pasar yang mengundang lidah untuk mengicipi, dan selalu asam. Heahh!! Tidak lupa, aku melihat si daging penghuni cacing pita – hehe – hampir disemua tempat menjual. Adakah ayam? Bangkok, Thailand.      Setiba di Hostel, aku disambut dengan cara yang unik. Anjing menggonggongiku. “Guk guk guk”, menyalak kearahku. Si hitam genit, mungil, buas juga. Sejak itu ia terus menggonggongiku dengan ramah. Aku terima kunc

Hujan, apakah ia kembali?

Gambar
          Menulis membuatmu sangat kuat dan tenang yang tertandingi. Hanya saja terkadang kamu tidak melakukannya di titik-titik tertentu. Waktu terus mempersingkat gerak-gerikmu. Ia akan menenggelamkanmu di masa-masa yang seharusnya bisa kamu lakukan untuk lebih dari berimajinasi. Cobalah menulis agar kamu bisa mendengarkan diri kamu. Hmm. Jadi, mari kembali ke buku harian. ................             Melihat hujan. Melihat hal pada masa lampau. Ia. Ia adalah sesuatu yang kembali, sesuatu yang tanpa sadar pernah kita lepas barangkali. Seandainya dalam jiwa ini tak ada imoresi, mungkin aku dengan mudah menepis segalanya tentang kau dan tak ada lagi malam-malam yang penuh dihalaman diariku.             Kembali.             Memaksa sesuatu hal yang sudah lenyap termakan waktu dan harus bangkit ketika akal sehat membangunkannya. Menertawakan sang air mata. Padahal air mata tidak suka dibercandain . Ada hal-hal yang seharusnya tidak berada pada zona seperti ini. Aku me

LAPAS, ITU.

Gambar
“Nama pulau tempat tinggalku ialah Teluk Mutiara, kamu ingin naik perahu kan? Disana banyak perahu”.             Kupijakkan kakiku menuju pintu lapas, menjenguknya. Menjenguk ia, singa yang (sempat) jatuh cinta pada domba. Aku berjuang menemukan keberanian untuk bertemu karena kekhawatiranku selama ini. Bukan hanya simpati, tapi rasa mengasihi sesama haruslah ada. Aku tidak menyesali saat-saat menyakitkan itu (dulu); kuanggap bekas-bekas lukaku sebagai medali. Mengingat, aku pernah berjuang-walaupun tanpa hasil-untuk mendapatkannya ketika aku masih remaja, namun sayang, ia menjauh, berlari sangat kencang. Hatiku mungkin masih memar dan sakit, tapi akan pulih, dan akan mampu lagi melihat keindahan hidup. Itu pernah terjadi, dan terjadi lagi, aku yakin. Sampai suatu pagi, aku bangun dan mendapati diriku berpikir hal lain, dan aku pastikan bahwa yang terburuk perihal hati sudah lewat. Aku tidak membencinya. Kekuatan rasa benci tidak akan membawaku kemana-mana, tapi kekuatan pemberi