LAPAS, ITU.
“Nama pulau tempat tinggalku ialah
Teluk Mutiara, kamu ingin naik perahu kan? Disana banyak perahu”.
Kupijakkan
kakiku menuju pintu lapas, menjenguknya. Menjenguk ia, singa yang (sempat)
jatuh cinta pada domba. Aku berjuang menemukan keberanian untuk bertemu karena kekhawatiranku
selama ini. Bukan hanya simpati, tapi rasa mengasihi sesama haruslah ada. Aku
tidak menyesali saat-saat menyakitkan itu (dulu); kuanggap bekas-bekas lukaku
sebagai medali. Mengingat, aku pernah berjuang-walaupun tanpa hasil-untuk
mendapatkannya ketika aku masih remaja, namun sayang, ia menjauh, berlari
sangat kencang. Hatiku mungkin masih memar dan sakit, tapi akan pulih, dan akan
mampu lagi melihat keindahan hidup. Itu pernah terjadi, dan terjadi lagi, aku
yakin. Sampai suatu pagi, aku bangun dan mendapati diriku berpikir hal lain,
dan aku pastikan bahwa yang terburuk perihal hati sudah lewat. Aku tidak
membencinya. Kekuatan rasa benci tidak akan membawaku kemana-mana, tapi
kekuatan pemberian maaf, yang mengekspresikan diri melalui kebaikan hati, akan
mengubah hidupmu kearah positif. Dan sekarang hati nurani menyeretku untuk
menemuinya, di Lapas, karna aku tahu kehidupan selalu mengirim kami ke jalur
yang semakin lebar memisahkan (pertemanan) kami.
Saya
melihat wajah itu kembali, matanya tampak letih. Saya melihat banyak sekali
beban dan kegelisahan diraut wajahnya. Saya melihat seonggok daging yang pernah
terjamah olehku (dulu). Saya melihat masa lalu saya seperti datang menghampiri,
mengguyur kejam. Saya mendengar suara yang terbata-bata, sama seperti saat kita
mengobrol disamping Rektorat. Aku harus bersikap praktis, mempelajari semua
kemungkinan; bagaimana kehidupan harus tetap berjalan. Perasaan bahwa aku
memiliki tubuh dan jiwaku yang bukan punyaku? Aku sudah melihat kepahitan tanpa
batas dimata setiap orang, kesedihan yang tidak selalu diakui oleh setiap
orang, tapi ada disana. Dimatamu hari itu juga.
Kali
ini tubuhnya lebih berisi, tersirat terlihat segar, hanya saja aromanya masih
sama. Aroma tubuh yang sering menyentuh indra penciumanku, dulu. Setiap hari. Sekarang
aku tidak lagi punya energi seperti dulu, tapi aku ingin membantunya karena aku
belum bisa atau belum mau berhenti. Tak pernah berhenti untuk terus membuatnya
pulih tanpa obat itu. Nasehat demi nasehat pernah kau dengar dulu, namun
sayang, sedikit kau tak menghiraukan. Aku akui, (dulu) aku menyukainya sebagai
sebuah pribadi, bukan karena ambisi hati. Namun sudahlah, aku, dombanya tak
harus seliar dirinya.
Percakapan
di lapas tidaklah asik. Sekat berupa kaca dan besi sarangan untuk penyampaian
suara membuat suaraku harus naik beberapa oktaf. Tetapi aku tidak boleh
menyia-nyiakan kesempatan waktuku. Mendengarkannya dan merekam percakapan kami
dikepala. Aku hampir menangis, tapi tidak dihadapannya. Kuperhatikan aku
melewati bagian proses ceritanya yang sedikit kelam. Jiwa muda yang mudah
koyak. Aku bisa melihat dimatanya dikala bercerita, dan itu jelas tidak
bepengaruh baik baginya. Aku tersenyum lebar atas kekuatannya bertahan dibalik
besi-besi itu, untuk membawanya lebih dekat dengan Tuhan. Tetaplah terang
janganlah padam, batinku saat itu. Tidak lama kutinggalkan tempat dengan
mengiyakan sebuah janji.
Aku
tetap saja masih terguncang oleh cerita mengerikan itu saat berjalan keluar
lapas menuju parkiran sambil bertanya-tanya, kenapa aku disini? Memang benar,
ada waktu untuk merobek dan ada waktu untuk menjahit, begitulah sedikit melihat
dari sisi spiritual. Sedikit sakit akan pergumulan yang dihadapi, namun akan
pulih dan kuat jika hidup didalam Dia.
---
Aku.
Aku suka menulis. Menulis adalah salah satu aktivitas paling terpencil didunia.
Satu kali setiap dua tahun, aku duduk didepan laptop, menatap lautan jiwaku
yang terasa asng dan melihat beberapa pulau, ide-ide yang terbentuk dan siap
ditelaah. Kamu belajar untuk meramu pikiran-pikiranmu yang kacau dan
mendapatkan ketenangan. Kamu bisa duduk diam dan mendengarkan diri kamu tanpa
distrasi. Menulis membuatmu kuat.
Komentar
Posting Komentar