Postingan

FEATURED POST

Thailand dan Langit Orange (Part 1)

Gambar
                 Aku melewati jalan aspal sangat berkilau, semacam kita memakai masker putih telur. Beton-beton kokoh berdiri dan gedung-gedung menjulang tinggi. Kumengadah, skytrain telah merontokan debu kecil menimpa pundakku. Menuruni eskalator, MRT yang dirancang unik beda dengan negara-negara lainnya. Sepanjang jalan kota kulihat paha-paha putih dan menawan berjalan, bola mata yang kecil, huruf semacam aksara jawa dimana-mana dan suara membuatku melotot menahan tawa. Memasuki fasilitas umum, dan ...(terdapat tiga jenis kamar mandi) ups. Tidak hanya itu, jajanan pasar yang mengundang lidah untuk mengicipi, dan selalu asam. Heahh!! Tidak lupa, aku melihat si daging penghuni cacing pita – hehe – hampir disemua tempat menjual. Adakah ayam? Bangkok, Thailand.      Setiba di Hostel, aku disambut dengan cara yang unik. Anjing menggonggongiku. “Guk guk guk”, menyalak kearahku. Si hitam genit, mungil, buas juga. Sejak itu ia terus menggonggongiku dengan ramah. Aku terima kunc

Hujan, apakah ia kembali?

Gambar
          Menulis membuatmu sangat kuat dan tenang yang tertandingi. Hanya saja terkadang kamu tidak melakukannya di titik-titik tertentu. Waktu terus mempersingkat gerak-gerikmu. Ia akan menenggelamkanmu di masa-masa yang seharusnya bisa kamu lakukan untuk lebih dari berimajinasi. Cobalah menulis agar kamu bisa mendengarkan diri kamu. Hmm. Jadi, mari kembali ke buku harian. ................             Melihat hujan. Melihat hal pada masa lampau. Ia. Ia adalah sesuatu yang kembali, sesuatu yang tanpa sadar pernah kita lepas barangkali. Seandainya dalam jiwa ini tak ada imoresi, mungkin aku dengan mudah menepis segalanya tentang kau dan tak ada lagi malam-malam yang penuh dihalaman diariku.             Kembali.             Memaksa sesuatu hal yang sudah lenyap termakan waktu dan harus bangkit ketika akal sehat membangunkannya. Menertawakan sang air mata. Padahal air mata tidak suka dibercandain . Ada hal-hal yang seharusnya tidak berada pada zona seperti ini. Aku me

LAPAS, ITU.

Gambar
“Nama pulau tempat tinggalku ialah Teluk Mutiara, kamu ingin naik perahu kan? Disana banyak perahu”.             Kupijakkan kakiku menuju pintu lapas, menjenguknya. Menjenguk ia, singa yang (sempat) jatuh cinta pada domba. Aku berjuang menemukan keberanian untuk bertemu karena kekhawatiranku selama ini. Bukan hanya simpati, tapi rasa mengasihi sesama haruslah ada. Aku tidak menyesali saat-saat menyakitkan itu (dulu); kuanggap bekas-bekas lukaku sebagai medali. Mengingat, aku pernah berjuang-walaupun tanpa hasil-untuk mendapatkannya ketika aku masih remaja, namun sayang, ia menjauh, berlari sangat kencang. Hatiku mungkin masih memar dan sakit, tapi akan pulih, dan akan mampu lagi melihat keindahan hidup. Itu pernah terjadi, dan terjadi lagi, aku yakin. Sampai suatu pagi, aku bangun dan mendapati diriku berpikir hal lain, dan aku pastikan bahwa yang terburuk perihal hati sudah lewat. Aku tidak membencinya. Kekuatan rasa benci tidak akan membawaku kemana-mana, tapi kekuatan pemberi

GINCU MERAHKU TAK PERNAH SALAH

Gambar
“ Selamat ulang tahun Pelukis.”             Kegelisahanku sempat mencuat hingga pada hari ini tepat dihari ulang tahunnya bak pohon yang merunduk karena kelebihan beban yang ditanggung. Lantas hal apa yang menginspirasi Pelukis itu sehingga sampai hari ini pun ia masih mengabaikanku, pekat pikiranku. Gincuku semakin merah, hatiku semakin patah. Setiap pagi kudengar lagu Efek Rumah Kaca membuatku semakin berpasrah diri, menikmati kesedihan dengan elegan. Diambang batas pikiranku ketika berada di Kota Bali, sesekali aku menengok ke belakang, hanya memastikan kalau “kita” sudah tak diinginkan. Oleh siapa? Oleh alam mungkin. Terbukti ketika aku berkelana kemanapun yang aku mau hingga sampai di Kota Bali, rindu selalu tak mengenal jarak dan tidak bisa diperkarakan. Dikala jiwaku tak terbatas, aku bebas berandai mengulang waktu tanpa peduli itu terbangun dari khayal. Bahasa alam tak pernah bohong memberikan isyarat yang santun tetapi perlahan menyayat. Seakan-akan menumpahkan kenyataan

Bapak, Sepertinya Anak Sulungmu .....

Gambar
             Tidak! – “Berhentilah melihat rasa sakit di mana-mana!”, kataku pada kaca. Aku tak tahu tentang memisahkan segalanya. Ini mungkin tak berhasil, akan berhasil namun pelan-pelan. Ia, penyakit! Rapuh, tersumbat ,tak seimbang, jatuh dan butuh ketenangan.  Menjerit, suaranya naik beberapa oktaf katanya, menurutku tidak. Malahan hening, tak ada kudengar apapun. Ruangan gedung, terlihat sekat-sekat, lorong lebar menuju banyak belokan, tampak manusia dalam setelan biru dan putih halu-lalang, lantas rak obat-obatan tampak rapi tersusun di sudut ruangan. Kulihat jiwa-jiwa merengek di depan pintu UGD, memutar tangan dan menyimpulkan jari mereka, ada yang sedang dipanjatkan rupanya. Kuluruskan pandanganku sekali lagi, sedikit mengangkat dagu, simbol ketegaran, terus berjalan mengikuti petunjuk yang menempel disetiap tiang, menapaki keramik putih, baunya tak sedap jika lebih dekat. Baunya seperti obat. Aku pribadi berusaha tak mau berurusan dengan barang tersebut.         

Kau dan Senja

Gambar
Jangan menjauh, teruslah menujuku Jangan lelah, teruslah meraihku Jangan sakit, teruslah menjagaku Jangan menyerah, teruslah mengarungiku Tersenyum Cobalah menatap senja Menebarkan rindu pada jiwa pecinta Lenyap Hilang dalam gemuruh ombak Datang lalu pergi, begitulah rindu di ufuk lembayung senja Pantai, pembuangan hasrat yang menggebu-nggebu Kau Kandungan hasrat yang enggan tumpah Terbelah, terurai, menguap dan hilang Kau. Kapan kau meraihku, menujuku, menjagaku, mengarungiku (?) Jangan abadi, berikan celah untuk kenangan Jangan menghakimi, logikapun tak sejahat itu Jangan menggenggam, jika punggung masih bisa kau gapai Jangan merasakan, tubuhku tak semolek yang kau pikir Kapan ? Terngiang-ngiang melekat di otak Cinta terus mengoyak hati, saat terpojok logika Sunyi Menghadirkan air mata menjadi genangan Kapan kau menjadi kita (?) **********

Hari Kemarin

Gambar
Sabtu, perkuliahanku memang selalu libur. Aku menyempatkan diri untuk mengantar si kembar ke sekolah karena aku tahu kalau aku begitu sibuk dengan urusan kuliah. Menghidupkan motor. Membawa mereka, menelusuri jalan yang kebetulan jalan itu merupakan jalur lalu lintas truk pengangkut pasir. Berbelok kekanan melewati jalan yang sedikit setapak. Tak apalah. Menoleh kekanan kekiri ada beberapa sengkedan yang mengharuskanku mengucapkan syukur atas ciptaan dan nikmatnya. Masih mengendarai motor menuju arah utara. Terlihat jelas merapi memperlihatkan cakrawala, menyambut pagi kita dengan pesonanya. Ibu-ibu yang beriringan dengan penutup kepalanya - caping- dan menggendong sebuah wadah berisi makanan yang nantinya akan disantap setelah mereka selesai menggarap sawah. Aku terseyum, aku terharu. Terlintas diingatan, ketika aku sedang menyusul Mbah Putri disawah. Namun beliau sudah kembali. Kembali kepada-Nya. Menemui pertigaan, aku kembali tersenyum melihat banyak sekali persawahan