Bapak, Sepertinya Anak Sulungmu .....

            Tidak! – “Berhentilah melihat rasa sakit di mana-mana!”, kataku pada kaca. Aku tak tahu tentang memisahkan segalanya. Ini mungkin tak berhasil, akan berhasil namun pelan-pelan. Ia, penyakit! Rapuh, tersumbat ,tak seimbang, jatuh dan butuh ketenangan.  Menjerit, suaranya naik beberapa oktaf katanya, menurutku tidak. Malahan hening, tak ada kudengar apapun. Ruangan gedung, terlihat sekat-sekat, lorong lebar menuju banyak belokan, tampak manusia dalam setelan biru dan putih halu-lalang, lantas rak obat-obatan tampak rapi tersusun di sudut ruangan. Kulihat jiwa-jiwa merengek di depan pintu UGD, memutar tangan dan menyimpulkan jari mereka, ada yang sedang dipanjatkan rupanya. Kuluruskan pandanganku sekali lagi, sedikit mengangkat dagu, simbol ketegaran, terus berjalan mengikuti petunjuk yang menempel disetiap tiang, menapaki keramik putih, baunya tak sedap jika lebih dekat. Baunya seperti obat. Aku pribadi berusaha tak mau berurusan dengan barang tersebut.



            Aku mengerutkan kening, menarik napas dalam-dalam. Menahan lelah. Anak sulung yang malang, namun Dia mencintaimu bukan? Tenanglah, didalam ruang H terdapat manusia sedang berjuang melawan penyakit yang tengah menjakiti. Pikiranku tiba-tiba lumpuh dengan ketakutan. Aku mengangkat tanganku dengan harapan bahwa dia (si otak) akan berhenti berpikir tak waras. Mukaku merah membara, tapi secara mental menepuk punggungku sendiri untuk keterusteranganku, bahwa kesulunganku sepertinya tak layak.
            Suara yang lembut, hangat mengejutkanku dari lamunan tengah berjalan. Ibuk. Kali ini, nada suaranya terdengar samar-samar. Aku menggigit bibir dan menunduk menatap tanganku tidak menyukai kemana pikiran bandelku sedang koyak. Abu-abu. Ibuk tampak lelah. Lesu. Demi menunggu Beliau. Dia menatapku dengan ekspresi penuh kekhawatiran dan bingung di wajahnya. Tanpa kusapa karna aku malas mengeluarkan suara, langsung kududuk disampingnya membiarkan Ibuk yang memulai percakapan denganku. “Piye adek nda?”, ujar Ibuk.“ “Nggak popo kok, lah kepiye. Nggak usah mikir omah. Santai wae!”, tegasku. Gelisah mulai menjakitiku dengan serakah. Melonjak berkali-kali lipat. “Bapak pie Buk?”, sahutku. “Dokter e ngomong, semoga tidak menurun kondisinya.” Aku tak menjawab sepatah katapun. Aku sibuk memilah-milah kata hingga membuat lidahku tak bisa lentur. Susah sekali berbicara. Didepanku, bersandar ke tembok kulihat wanita kira-kira paruh baya menatapku dengan pandangan tajam. Hanya melemparkan senyum kecut padaku. Oh, mungkin ia sedang terkena musibah seperti keluargaku, pikirku.
            Aku berdiri, mengintip dari luar pintu kondisi Bapak, karna kulihat disamping pintu itu tertempel peraturan yang menyebalkan, “dilarang masuk” untuk seusiaku. Dibalik kaca persegi panjang ini kulihat ia sedang terbaring lemah menahan sakit yang tiba-tiba saja menyerang malam itu. Aku selalu menghindar, bagaimanapun caranya dengan yang namanya penyakit. Berusaha jangan sampai ada satu penyakit yang menempel ditubuhku. Agak terkesan angkuh namun semata-mata demi kesehatan.
Hanya sekilas saja pandanganku dari balik pintu kemudian aku berbalik. Aku tak ingin berlarut-larut dalam kesedihan. Kesedihan pasti berakhir pada sebuah tangisan dan aku tak menginginkan itu. Aku mengerutkan kening dan menunduk menatap tanganku lagi. Menepuk pundak sendiri, menguatkan diri. Menepuk dada sendiri, melapangkan diri.
            Kubawakan tikar dan beberapa baju sekiranya diperlukan untuk ibuku yang enggan mengeluh untuk menjaga Beliau. Kekuatan yang ia punya menjalar ke dalam diriku, menebarkan tenaga untuk besok, besok dan besoknya lagi. Ketidakberdayaanku sebagai anak mampu diketahui olehnya. Aku ingin mengatakan kegelisahanku dalam keheningan, berdua saja.
            Aku sangat terpukul melihat kondisi bapak sekarang. Terkapar tak berdaya dengan beberapa selang yang tidak hanya menyentuh kulitnya bahkan menancap pada tubuhnya. Mengerikan. Sepertinya aku harus pergi. Tak ingin berlama-lama di situasi yang seperti ini. Aku imani saja, Beliau pasti sembuh. Aku harus keluar secepatnya, mencoba untuk mengatur kembali pikiranku. Terburu-buru aku meninggalkan ruangan itu, perasaan gundah mendesakku untuk melangkahkan kaki keluar menuju pintu kamar. Seandainya. Kata itu yang menjadi pusat perhatianku, menjadi harapanku, dan menjadi keinginan besarku.
Seandainya penyakitnya bisa kubunuh dengan tanganku.
Seandainya sehatku bisa kutukar.
Seandainya kelapangan dada dengan kontrol besar yang ku miliki bisa kuberikan padanya.
PASTI AKAN KUBERI SEMUA ITU.
            Aku kembali duduk dengan ketakutan yang terus melanda. Hari-hari yang kusediakan atau sudah terjadwal untuk beberapa perjalanan harus kugagalkan. Sebenarnya persoalan itu tak menjadi masalah untukku. Bapak yang paling penting. Aku masih duduk melihat rumput-rumput di pojok ruangan yang turut memandangiku dengan diam, aku masih bergumul dengan kondisi Bapak.
            Aku putuskan mengakhiri pertemuanku dengan Bapak dan Ibu di rumah sakit untuk kembali pulang sore itu.  Mungkin dengan aku pulang mampu meredakan ketakutanku yang memuncak. “Jogo adek lho nda, sing ati-ati wae”, suaranya tiba-tiba tegas. Ibuk mengatakan hal yang sering kudengar dari kebanyakan ibu jaman sekarang. Ia kehabisan kata-kata, bagaimana tidak, terlalu lelah untuk berkata karna tenagapun sudah habis terkuras menanggung beban yang ada didepan mata. Bapak. Uang administrasi. Apalah...
            Berjalan mencari pintu keluar rumah sakit, kali ini aku pulang membawa segudang bayangan mengenai situasi didalam tadi. Tak layak, memori ini kutampung dalam pikiran. Kuharap perjalananku pulang akan baik-baik saja. Kali aja aku menemukan solusi tergeletak dijalan pasti tak mungkin ku sia-siakan. HAHA. Konyol. Kamu tak percaya sama Tuhan? Sampai-sampai pemikiran gilamu muncul. Besitku.
            Menuruni tangga, menuju tempat parkiran, mengeluarkan secarik kertas parkir, menarik helmku, kunyalakan motor tua kesayanganku, tak kusegan-segan aku mulai menarik gas dengan muka yang masih datar-datar saja. Membiarkan diri terombing-ambing menuntut Beliau harus sembuh. Orang sehat mempunyai banyak keinginan namun orang sakit hanya punya satu keinginan yaitu sembuh. Petikan artikel yang entah kubaca dimana.
Tugasku sekarang hanya satu, berdoa. Mendoakan beliau agar sembuh. Sembuh dari stroke yang sedang menyerangnya kali ini. Saya percaya Tuhan Yesus menyembuhkan apabila kita punya iman yang teguh

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Thailand dan Langit Orange (Part 1)

Hari Kemarin

Kau dan Senja