GINCU MERAHKU TAK PERNAH SALAH
“Selamat ulang tahun Pelukis.”
Kegelisahanku sempat mencuat hingga
pada hari ini tepat dihari ulang tahunnya bak pohon yang merunduk karena kelebihan
beban yang ditanggung. Lantas hal apa yang menginspirasi Pelukis itu sehingga
sampai hari ini pun ia masih mengabaikanku, pekat pikiranku. Gincuku semakin
merah, hatiku semakin patah. Setiap pagi kudengar lagu Efek Rumah Kaca
membuatku semakin berpasrah diri, menikmati kesedihan dengan elegan. Diambang
batas pikiranku ketika berada di Kota Bali, sesekali aku menengok ke belakang,
hanya memastikan kalau “kita” sudah tak diinginkan. Oleh siapa? Oleh alam
mungkin. Terbukti ketika aku berkelana kemanapun yang aku mau hingga sampai di
Kota Bali, rindu selalu tak mengenal jarak dan tidak bisa diperkarakan. Dikala
jiwaku tak terbatas, aku bebas berandai mengulang waktu tanpa peduli itu
terbangun dari khayal. Bahasa alam tak pernah bohong memberikan isyarat yang
santun tetapi perlahan menyayat. Seakan-akan menumpahkan kenyataan yang sulit
kuterima dibanding dengan keikhlasan yang kupunya. Rasa terimakasih selalu
terucap, karna dengannya (alam) paling mengerti perasaanku. Ia berbisik,
“Pelukis itu sudah terjamah yang lain, berlarilah seperti kijang kemanapun engkau
mau. Berekspresilah nak, dunia tak sesempit otakmu.”
Harusnya Pelukis itu tahu, berapa
gelas kopi yang kuteguk demi khayalan gila yang pernah kurasakan didadamu yang
berbau rempah-rempah itu. Studi kotormu menjadi saksi kita, dan sempat menjadi
tempat perteduhan semata demi gejolak hati yang tengah bergerilya. Sifatmu
memang baik, itu yang terpajang dipikiranku sekarang. Terlihat besar kesalahan
yang menghadangku menujumu. Hingga sulit, aku menerimanya.
Menyesal. Pengalihan kata itu kerap muncul
ketika aku memakai gincuku yang setiap hari berkabung karna pemiliknya. Layu,
dan tak sesegar wanita pada umunya. Aku. Gincu merahku tak pernah salah, ia
hanya sebagai samaran kesakitanku.“Tidurlah, kita, kamu dan hatimu akan
baik-baik saja. Pelukis itu; perihal lain yang salah sementara hanya singgah”,
kata batinku. Saku celana bagian kiri, ku taruh gincu merahku dengan aman. Doa
dan ia, setiap hari memacuku untuk tersenyum karna bibir tak pernah tahu jika
aku mempunyai banyak persoalaan yang begitu akut. Hati. Asmara. Ha? Kepada
siapa nak? Pelukis itu?
Sejak Bapak masuk rumah sakit dan
divonis mengidap strok, kesadaranku datang bahwa Anda sudah tak pernah
menginginkanku lagi. Segala itikad baik dan permintaan maaf yang kerap kali
kulemparkan pada Pelukis itu tak digubrisnya. Maka saat itu juga aku
memberanikan diri berbicara pada diriku sendiri.
Mataku tak lagi bermata panda oleh karna
menangisi penyesalanku bahkan ku pastikan akan jauh lebih berwarna. Bibirku
masih bisa tersenyum tanpa harus sapaan darimu setiap pagi. Kepalaku masih bisa
bersandar walaupun harus merepotkan tembok. Daguku masih bisa kuangkat karna
ketegaranku melebihi rapuhku. Nafasku tak lagi sesak karena didadaku tak lagi
tumbuh rindu-rindu yang gila. Jemariku masih mampu menggenggam dengan
sendirinya tanpa genggamanmu yang meyakinkanku waktu lalu. Hatiku tak lagi
terkoyak hanya karna pacar barumu lebih kurus namun ku pastikan aku lebih jago
ngurus. Punggungku masih bisa hangat walaupun dengan usapan sahabat tanpa harus
merengek pelukanmu. Pahaku masih bisa seksi tanpa harus menggunakan alasan
“karnamu aku harus molek” tetapi aku mampu menjadi indah karna
keringat-keringatku dan kakiku masih bisa melangkah kemanapun yang aku mau dan
tidak hanya melangkah ke studiomu saja. Gincuku akan selalu menghiasi bibirku
hingga aku puas dengan kegelisahanku yang selalu diperpanjang.
Apalah arti waktu jika waktu hanya
kuhabiskan dengan mengenangmu, Pelukis.
*******
Gelisah yg di perpanjang? Cul uga tuh.
BalasHapusGelisah yg di perpanjang? Cul uga tuh.
BalasHapus